Jumat, 26 Desember 2014

Analisis Sajak dengan Mimetik

ANALISIS SAJAK-SAJAK DENGAN PENDEKATAN MIMETIK

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Karya sastra merupakan kesusastraan, karya tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain memiliki berbagai cirri keunggulan,seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya, drama, epik, dan lirik. (Kamus Besar Bahasa Indonesia : 786). Ada beberapa jenis karya sastra diantaranya, sastra bandingan, sastra daerah, sastra dunia, sastra erotik, sastra hiburan, sastra Indonesia, sastra Indonesia klasik, sastra tulisan dan sastra lainnya.  Karya sastra itu sendiri berisi mengenai pengalaman yang biasanya dialami oleh pengarang itu sendiri. Ada banyak pula pendekatan yang dapat digunakan untuk melakukan kritik terhadap karya sastra,seperti pendekatan mimesis, pragmatis, ekspresif, objektif, semiotik, sosiologis, psikologis, dan pendekatan moral. Maka dalam makalah ini akan membahas mengenai pendekatan mimesis dalam puisi-puisi berbagai pengarang.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1.      Bagaimana hasil kajian kritik karya sastra dengan menggunakan pendekan mimesis atau mimetic.
2.      Apakah makna puisi-puisi dengan menggunakan pendekatan mimetik.

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.      Agar mengetahui cara dan hasil suatu kritik sastra dengan pendekatan mimesis atau mimetik terhadap puisi-puisi yang akan dibahas.
2.      Untuk mengetahui makna puisi –puisi tersebut setelah dilakukan kritik sastra dengan pendekatan mimesis atau mimetik.




BAB II
KAJIAN TEORI

A.    Puisi
1.      Pengertian Puisi
Puisi adalah bagian dari  karya sastra. Ia terbangun dari unsur makna yang tertuang dalam kata-kata. Selain itu, puisi merupakan jelmaan rasa penciptanya, ungkapan hati baik itu sedih, gembira, marah, benci, simpatik, dan lain sebagainya. Jika kita melihat lebih jauh, dalam masa perkembangannya kini, puisi memiliki banyak ragamnya, contoh puisi baru, puisi kontemporer, puisi tipografi, hingga puisi-puisi rupa. 
Pengertian puisi sendiri menurut Rahmat Joko Pradopo ialah ekspresi pemikiran yang membangkitkan perasaan, ia mampu membangkitkan imajinasi panca indera dalam suasana yang berirama. Dalam pengertian puisi yang diungkapkan Pradopo di atas berarti puisi menjadi jembatan antara rasa yang dimiliki penulis dengan dunia luar melalui kata-kata. Lebih sederhana lagi, pengertian puisi menurut Shelly ialah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup kita. Sedangkan pengertian puisi menurut Auden ialah bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-campur.
2.      Unsur-Unsur Puisi
Unsur-unsur puisi meliputi struktur fisik dan struktur batin puisi
a.       Struktur fisik puisi
Struktur fisik puisi terdiri dari:
·         Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.
·         Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata.
·         Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, medengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.
·         Kata konkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misalnya kata kongkret “salju: melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll., sedangkan kata kongkret “rawa-rawa” dapat melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan, dll.
·         Gaya bahasa, yaitu penggunaan bahasa yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kayaakan makna. Gaya bahasa disebut juga majas. Ada pun macam-macam majas antara lain metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, parsprototo, totempro parte, hingga paradoks.
·         Rima/Irama adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup:
1)      Onomatope (tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis pada puisi Sutadji C.B.).
2)    Bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan sebagainya.
3)    Pengulangan kata/ungkapan. Ritma merupakan tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Rima sangat menonjol dalam pembacaan puisi.
b.      Struktur batin puisi
Struktur batin puisi terdiri dari
·         Tema/makna (sense); media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan.
·         Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, dan pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada kemampuan penyairmemilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya.
·         Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll.
·         Amanat/tujuan/maksud (intention); yaitu pesan yang ingin disampaikan penyair kepada pembaca.
B.     Kritik Sastra
1.      PENGERTIAN KRITIK SASTRA
Istilah ”kritik” (sastra) berasal dari bahasa Yunani yaitu krites yang berarti ”hakim”. Krites sendiri berasal dari krinein ”menghakimi”; kriterion yang berarti ”dasar penghakiman” dan kritikos berarti ”hakim kasustraan”. Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra sebagai karya seni.
Menurut Graham Hough (1966: 3) bahwa kritik sastra itu bukan hanya terbatas pada penyuntingan dan penetapan teks, interpretasi , dan pertimbangan nilai, melainkan kritik sastra meliputi masalah yang lebih luas tentang apakah kesusastraan itu, untuk apa, dan bagaimana hubungannya dengan masalah-masalah kemanusiaan yang lain.
Abrams dalam Pengkajian sastra (2005: 57) mendeskripsikan bahwa kritik sastra merupakan cabang ilmu yang berurusan dengan perumusan, klasifikasi, penerangan, dan penilaian karya sastra.
Menurut Rene Wellek dan Austin Warren, Studi sastra (ilmu sastra) mencakup tiga bidang, yakni: teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiganya memiliki hubungan yang erat dan saling mengait. Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra.
2.      FUNGSI KRITIK SASTRA
Menurut Pradopo fungsi utama kritik sastra dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:
1)      Untuk perkembangan ilmu sastra sendiri. Kritik sastra dapat membantu penyusunan teori sastra dan sejarah sastra. Hal ini tersirat dalam ungkapan Rene wellek “karya sastra itu tidak dapat dianalisis, digolong-golongkan, dan dinilai tanpa dukungan prinsip-prinsip kritik sastra.
2)      Untuk perkembangan kesusastraan, maksudnya adalah kritik sastra membantu perkembangan kesusastraan suatu bangsa dengan menjelaskan karya sastra mengenai baik buruknya karya sastra dan menunjukkan daerah-daerah jangkauan persoalan karya sastra.
3)      Sebagai penerangan masyarakat pada umumnya yang menginginkan penjelasan tentang karya sastra, kritik sastra menguraikan (mengsnalisis, menginterpretasi, dan menilai) karya sastra agar masyarakat umum dapat mengambil manfaat kritik sastra ini bagi pemahaman dan apresiasinya terhadap karya sastra (Pradopo, 2009: 93).
Berdasarkan uraian di atas dapat digolongkan kembali fungsi kritik satra menjadi dua:
Fungsi kritik sastra untuk pembaca:
a)      Membantu memahami karya sastra.
b)      Menunjukkan keindahan yang terdapat dalam karya sastra,
c)       Menunjukkan parameter atau ukuran dalam menilai suatu karya sastra,
d)      Menunjukkan nilai-nilai yang dapat dipetik dari sebuah karya sastra.
Fungsi kritik sastra untuk pengarang:
a)      Mengetahui kekurangan atau kelemahan karyanya,
b)      Mengetahui kelebihan karyanya,
c)      Mengetahui masalah-msalah yang mungkin dijadikan tema karangannya.
3.      MANFAAT KRITIK SASTRA
Manfaat dari kritik sastra dapat diuraikan menjadi:
Manfaat kritik sastra bagi penulis:
a.       Memperluas wawasan penulis baik yang berkaitan dengan soal bahasa, objek atau tema-tema karangan, maupun teknik bersastra.
b.      Menumbuhsuburkan motivasi untuk mengarang.
c.       Meningkatkan kualitas karangan.
Manfaat kritik sastra bagi pembaca:
a.       Menjembatani kesenjangan antara pembacakepada karya sastra.
b.      Menumbuhkan kecintaan pembaca kepada karya sastra.
c.       Meningkatkan kemanpuan mengapresiasi karya sastra.
d.      Membuka mata hati dan pikirtan pembaca akan nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra.
Manfaat kritik sastra bagi perkembangan sastra:
a.       Mendorong laju perkembangan sastra baik kualitatif maupun kuantitatif.
b.      Memperluas cakrawala atau permasalaha yang ada dalam karya sastra.
C.     Jenis-jenis pendekatan kritik sastra
Berdasarkan pendekatannya terhadap karya sastra. Menurut Abrahams (1981: 36-37) membagi kritik sastra dalam empat tipe, yakni kritik mimetik (mimetic criticism), kritik pragmatik (pragmatic criticism), kritik ekspresif (ekspresive criticism) dan kritik objektif (objective criticism).
1.      Kritik mimetic
Menurut Abrams, kritikus pada jenis ini memandang karya sastra sebagai tiruan aspek-aspek alam. Sastra merupakan pencerminan/penggambaran dunia kehidupan. Sehingga kriteria yang digunakan kritikus sejauh mana karya sastra mampu menggambarkan objek yang sebenarnya. Semakin jelas karya sastra menggambarkan realita semakin baguslah karya sastra itu. Kritik jenis ini jelas dipengaruhi oleh paham Aristoteles dan Plato yang menyatakan bahwa sastra adalah tiruan kenyataan.
Di Indonesia, kritik jenis ini banyak digunakan pada Angk. 45. Contoh lain misalnya:
Novel Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik, Jakob Sumardjo.
Novel Indonesia Populer, Jakob Sumardjo.
2.       Kritik pragmatic
Kritikus jenis ini memandang karya sastra terutama sebagai alat untuk mencapai tujuan (mendapatkan sesuatu yang daharapkan). Sementara tujuan karya sastra pada umumnya: edukatif, estetis, atau politis. Dengan kata lain, kritik ini cenderung menilai karya sastra atas keberhasilannya mencapai tujuan.
Ada yang berpendapat, bahwa kritik jenis ini lebih bergantung pada pembacanya (reseptif). Kritik jenis ini berkembang pada Angkatan Balai Pustaka. STA pernah menulis kritik jenis ini yang dibukukan dengan judul Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan.
3.      Kritik ekspresif
Kritik ekspresif menitikberatkan pada pengarang. Kritikus ekspresif meyakini bahwa sastrawan (pengarang) karya sastra merupakan unsur pokok yang melahirkan pikiran-pikiran, persepsi-persepsi dan perasaan yang dikombinasikan dalam karya sastra. Kritikus cenderung menimba karya sastra berdasarkan kemulusan, kesejatian, kecocokan pengelihatan mata batin pengarang/keadaan pikirannya.
Pendekatan ini sering mencari fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman sastrawan yang sadar/tidak, telah membuka dirinya dalam karyanya. Umumnya, sastrawan romantik jaman BP/PB menggunakan orientasi ekspresif ini dalam teori-teori kritikannya. Di Indonesia, contoh kritik sastra jenis ini antara lain:
Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan, karya Arif Budiman. Di Balik Sejumlah Nama, Linus Suryadi. Sosok Pribadi Dalam Sajak, Subagio Sastro Wardoyo. WS Rendra dan Imajinasinya, Anton J. Lake. Cerita Pendek Indonesia: Sebuah Pembicaraan, Korrie Layun Rampan.
4.       Kritik objektif
Kritikus jenis ini memandang karya sastra sebagai sesuatu yang mandiri, bebas terhadap sekitarnya, bebas dari penyair, pembaca, dan dunia sekitarnya. Karya sastra merupakan sebuah keseluruhan yang mencakupi dirinya, tersusun dari bagian-bagian yang saling berjalinan erat secara batiniah dan mengehndaki pertimbangan dan analitis dengan kriteria-kriteria intrinsik berdasarkan keberadaan (kompleksitas, koherensi, keseimbangan, integritas, dan saling berhubungan antarunsur-unsur pembentuknya).
Jadi, unsur intrinsik (objektif)) tidak hanya terbatas pada alur, tema, tokoh, dsb; tetapi juga mencakup kompleksitas, koherensi, kesinambungan, integritas, dan sebagainya. Pendekatan kritik sastra jenis ini menitikberatkan pada karya-karya itu sendiri. Kritik jenis ini mulai berkembang sejak tahun 20-an dan melahirkan teori-teori: New Critics (Kritikus Bardi AS), Kritikus formalis di Eropa, Para strukturalis Perancis.
BAB III
ANALISIS SAJAK-SAJAK DENGAN PENDEKATAN MIMETIK
A.    SAJAK-SAJAK
1.      Sajak Tragedi TRISAKTI Achmad Rizha Baehaqi 
Tragedi TRISAKTI
Oleh Achmad Rizhal Baehaqi

Pijarhitam langit kelam
Jakarta berwarna malam
Porak poranda tumpah mewarna
Asing ditanahku, terperana

Raksasa angkuh menjelema
Melintang di garis dilemma
Bangsa besar hilang bernanah
Lancip tajam serupa timah

12Mei1998 Empat Jibril tertidur pulas
Tak bangun tak bernafas
Amarah dan air mata berdendang
Bak 1000 gamelan bersuara lantang

Jutaan otot dari yang terpilih menghadang
Otot tak otak berbisik menikam
Menghalang laju patriot terdidik
Mesin pongah membodohi bangsa
Sadar memang sadar ia
Bego!! Otak dongkol hanya otot-otor kekar

Ku goyangkan rezimmu
Wahai tuan bertakhta
Tataplah kami, pribumi bangsa
Darah tak serupa harta, hilang!
Ku tinggikan bendera hitam lama karam
Emosi jiwa, hati, dan pikiran menyatu
Inginkan bebas dari jurang depresi

Bawalah kami ke surga yang indah
Di tanah kami, tanah air mata bercucuran
Lepas mahkotamu, buta jalan cara mengubah

Indonesia di persimpangan jalan kehancuran

ANALISIS
            Puisi Tragedi Trisakti karya Achmad Rizhal Baehaqi ini diawali dengan bait pertama (Pijarhitam langit kelam /Jakarta berwarna malam /Porak poranda tumpah mewarna /Asing ditanahku, terperana). Langsung tergambar bagaimana kota Jakarta ketika tragedi trisakti, yaitu dalam keadaan porak poranda seakan langitpun kelam, dan terlihat bukan seperti apa yang penyair hafal suasana dan daerah Jakarta.
            Pada bait selanjutnya juga terlihat gambaran dan suasan ketika terjadi tragedi trisaksi yaitu (Raksasa angkuh menjelema /Melintang di garis dilemma /Bangsa besar hilang bernanah /Lancip tajam serupa timah). Daerah ibu kota yang besar saat itu sudah diambang kedilemaan dan sudah hilang citra bangsa yang besar.
            Kemudian penyair melanjutkannya (12Mei1998 Empat Jibril tertidur pulas/ Tak bangun tak bernafas/ Amarah dan air mata berdendang /Bak 1000 gamelan bersuara lantang). Pada tanggal 12 Mei terjadi demo besar-besaran, empat mahasiswa Trisakti tewas ditembak di dalam kampus sesaat setelah berdemo di depan gedung DPR/MPR. Karena mendengar terjadi penembakan yang mengakibatkan tewasnya mahasiswa Trisakti yaitu Elang Mulya, Hafidin Royan, Hendriawan Sie, dan Hery Hartanto, maka masyarakat pun menjadi marah dan sedih mengamuk dengan penuh amarah.
            Akhirnya semua masyarakat menyerang, akan tetapi (Jutaan otot dari yang terpilih menghadang/ Otot tak otak berbisik menikam/ Menghalang laju patriot terdidik/ Mesin pongah membodohi bangsa/ Sadar memang sadar ia/ Bego!! Otak dongkol hanya otot-otor kekar). Mereka diihadang oleh aparat kepolisian mengharuskan mereka kembali ke kampus dan sore harinya terjadilah penembakan terhadap mahasiswa Trisakti. 
            Dengan adanya penjagaan ketat tersebut tidak menggoyahkan mahasiswa dan masyarakat (Ku goyangkan rezimmu/ Wahai tuan bertakhta/ Tataplah kami, pribumi bangsa/ Darah tak serupa harta, hilang!/ Ku tinggikan bendera hitam lama karam/ Emosi jiwa, hati, dan pikiran menyatu/ Inginkan bebas dari jurang depresi) mereka tetap menentang dan mencoba menyerukan untuk pemberontakan terhadap penetapan Soeharto sebagai presiden dan dengan emosi yang membawa mereka tetap memberontak, untuk pembebasan atas hak-haknya.
            Akhirnya mencoba memohon (Bawalah kami ke surga yang indah/ Di tanah kami, tanah air mata bercucuran/ Lepas mahkotamu, buta jalan cara mengubah) memohon kepada Soehato agar melepaskan jabatannya, agar masyarakat mendapatkan kebebasan dan masyarakat indonesia tanpa ada tekanan lagi.

2.      Puisi "Kesaksian Pilu"Karya : Jose Rizal Manuaf
 Tsunami Aceh"Kesaksian Pilu"
Karya : Jose Rizal Manuaf

kusaksikan semua
kusaksikan detik – detik peristiwa
ngeri dan pilu
terdetak didalam dada
rasa desah
menghujam didalam jantung
melihat gelombang dahsyat
bergulung menghantam apa segala
ribuan desa
hancur seketika
puluhan ribuan
mayat terkapar dimana – mana
ada yang hanyut
ada yang terpendam, terbenam
ada yang terhimpit dirumahnya
innalilahi wainnailaihi roji’un
innalilahi wainnailaihi roji’un
tanah rencong yang permai
tiba – tiba terporak poranda
dalam sekejap
dalam hitungan detik
dalam hitungan menit
hancur
lenyap
haru biru menghunjam didalam dada
derita rakyat nangroe aceh darussalam
adalah duka rakyat indonesia

ANALISIS
            Pada bait pertama puisi tersebut (kusaksikan semua/ kusaksikan detik – detik peristiwa /ngeri dan pilu) kesaksian detik-detik peristiwa bencana aceh pada 2004 yang begitu menyedihkan dan memilukan. Mungkin ini semua dirasakan semua orang (terdetak didalam dada/ rasa desah/ menghujam didalam jantung) ketika tsunami orang-orang (melihat gelombang dahsyat/ bergulung menghantam apa segala/ ribuan desa/ hancur seketika) dan juga (puluhan ribuan/ mayat terkapar dimana – mana/ ada yang hanyut/ ada yang terpendam, terbenam/ ada yang terhimpit dirumahnya) sunggu miris dan hanya dapat menyebut (innalilahi wainnailaihi roji’un/ innalilahi wainnailaihi roji’un).
            Dulu ketika gelombang tsunami belum menghantam (tanah rencong yang permai) begitu permai dan damai. Akan tetapi betapa sedihnya ketika tsunami itu datang menghabiskan dan memporak porandakan masyarakat aceh pada tahun 2004 silam. Kehancuran dimana-mana, barang-barang berharga lenyap tidak ada yang tersisa. Hanya terlihat air dengan gelombang yang besar, tidak dapat melihat apapun selain air. Sangat iba (derita rakyat nangroe aceh darussalam/ adalah duka rakyat indonesia).

3.      Puisi “Lagu Seorang Gerilya” Karya WS. Rendra
LAGU SEORANG GERILYA
WS. Rendra
Engkau melayang jauh, kekasihku. 
Engkau mandi cahaya matahari. 
Aku di sini memandangmu, 
menyandang senapan, berbendera pusaka. 
Di antara pohon-pohon pisang di kampung kita yang berdebu, 
engkau berkudung selendang katun di kepalamu. 
Engkau menjadi suatu keindahan, 
sementara dari jauh 
resimen tank penindas terdengar menderu. 

Malam bermandi cahaya matahari, 
kehijauan menyelimuti medan perang yang membara. 
Di dalam hujan tembakan mortir, kekasihku, 
engkau menjadi pelangi yang agung dan syahdu 

Peluruku habis 
dan darah muncrat dari dadaku. 
Maka di saat seperti itu 
kamu menyanyikan lagu-lagu perjuangan 
bersama kakek-kakekku yang telah gugur 
di dalam berjuang membela rakyat jelata 

Jakarta, 2 september 1977 

ANALISIS
10 November 1977, di Surabaya dipenuhi tiga ribu jiwa muda. Setelah peristiwa di ITB pada Oktober 1977, giliran Kampus ITS Baliwerti beraksi. Dengan semangat pahlawan, berbagai pimpinan mahasiswa se-Jawa hadir memperingati hari Pahlawan 1977. Seribu mahasiswa berkumpul, kemudian berjalan kaki dari Baliwerti menuju Tugu Pahlawan.
Sejak pertemuan 28 Oktober di Bandung, ITS didaulat menjadi pusat konsentrasi gerakan di front timur. Hari pahlawan dianggap cocok membangkitkan nurani yang hilang. Kemudian disepakati pusat pertemuan nasional pimpinan mahasiswa di Surabaya.
Sementara di kota-kota lain, peringatan hari Pahlawan juga semarak. Di Jakarta, 6000 mahasiswa berjalan kaki lima kilometer dari Rawamangun (kampus IKIP) menuju Salemba (kampus UI), membentangkan spanduk,"Padamu Pahlawan Kami Mengadu". Juga dengan pengawalan ketat tentara.
Acara hari itu, berwarna sajak puisi serta hentak orasi. Suasana haru-biru, mulai membuat gerah. Beberapa batalyon tempur sudah ditempatkan mengitari kampus-kampus Surabaya. Sepanjang jalan ditutup, mahasiswa tak boleh merapat pada rakyat. Aksi mereka dibungkam dengan cerdik.
Konsolidasi berlangsung terus. Tuntutan agar Soeharto turun masih menggema jelas, menggegerkan semua pihak. Banyak korban akhirnya jatuh. Termasuk media-media nasional yang ikut mengabarkan, dibubarkan paksa.
Pimpinan Dewan Mahasiswa (DM) ITS rutin berkontribusi pada tiap pernyataan sikap secara nasional. Senat mahasiswa fakultas tak henti mendorong dinamisasi ini. Mereka bergerak satu suara. Termasuk mendukung Ikrar Mahasiswa 1977. Isinya hanya tiga poin namun berarti. "Kembali pada Pancasila dan UUD 45, meminta pertanggungjawaban presiden, dan bersumpah setia bersama rakyat menegakan kebenaran dan keadilan".
Dalam puisi ini menyatakan bahwa perjuangan mahasiswa untuk membebaskan dari segi bentuk kekangan yang diberikan oleh pemerintah saat itu. Mereka berfikir bahwa apa makna perjungan para pahlawan dahulu, kalau saat ini juga masih adanya pertentangan politik. Para pahlawan dahulu tidak pernah putus asa terhadap para penjajah, meskipun harus diburu dengan senapan-senapan anak panah, harus dikelilingi peluruh-peluruh dimana-mana, tetapi para pahlawan tidak patah semangat.
Mahasiswa diibaratkan seperti para pahlawan dahulu kala, yang dimana pahlawan dulu itu menuntut kemerdekaan. Tetapi saat ini mahasiswa menuntut keadilan untuk kalangan-kalangan bawah.

4.      Puisi “Ke Desa..” karya Aoh Kartahadimaja
KE DESA ..............
’Rang kota!
Pernahkah tuan pergi ke desa,
Menghirup bumi,
Baru dicangkul menyegar rasa ?

Pernahkah tuan duduk di tangah ladang,
Dengan peladang bersenda gurau,
Menunggu jagung dalam unggun,
Sebelum pacul kelak mengayun ?

Pernahkah tuan tegak di tepi sawah,
Padi beriak menyibak sukma,
Pipit bercicit,
Riang haram bersusah ?

Pernahkah tuan lihat air berdesau,
Dicegah batu membuih putih,
Julung beriring berbondong-bondong,
Hati terpaut ingin turut berenang-renang ?

Pernahkah tuan pergi ke kampung,
Melihat perawan menumbuk padi,
Gelak tertawa disertai suara lesung,
Mengenyah duka iri dalam hati ?

Pernahkah tuan, pernahkah ?
Ah, setahu beta menggubah,
Bila tuan ingin mencari perawan mangsa
Pergilah tuan, pergi ke desa.
(Aoh Kartahadimaja)

ANALISIS
Puisi tersebut mengisahkan tentang pertanyaan seseorang desa kepada seseorang dari kota. Dalam puisi yang berjudul Ke Desa... karya Aoh Kartahadimaja ini sungguh menggambarkan suasana di sebuah desa. Pengarang melukiskan suasana desa yang asri. Sesuai dengan pendekatan mimesis atau mimetik yang beranggapan bahwa puisi merupakan tiruan alam atau penggambaran dunia dan kehidupan manusia di semesta raya ini. Misalnya saja pada bait pertama
’Rang kota!
Pernahkah tuan pergi ke desa,
Menghirup bumi,
Baru dicangkul menyegar rasa ?
Pengarang karya membuka bagian awal atau bait pertama dengan menggambarkan bahwa di desa itu udaranya masih segar yang dapat menyegarkan kita. Pembaca dibawa masuk ke dalam artian puisi, sehingga seolah-olah pembaca mengalaminya.
Lalu pada bait kedua
Pernahkah tuan duduk di tangah ladang,
Dengan peladang bersenda gurau,
Menunggu jagung dalam unggun,
Sebelum pacul kelak mengayun ?
Pengarang kembali menceritakan bagaimana cara-cara peladang yang bersenda gurau ketika sedang bertemu dan berkumpul di ladang sambil menunggu panen jagung. Hal ini sesuai dengan landasan teori bahwa puisi itu hanyalah tiruan dari kehidupan manusia.
Lalu pada bait ketiga
Pernahkah tuan tegak di tepi sawah,
Padi beriak menyibak sukma,
Pipit bercicit,
Riang haram bersusah
Pengarang kembali semakin dalam menjelaskan bagaimana latar di sebuah desa yang masih hijau, segarm dan masih terdapat persawahan atau ladang dengan burung-burung pipit yang bertamu sambil mengeluarkan suara cicit merdunya yang mencari makan di ladang.
Pada bait keempat
Pernahkah tuan lihat air berdesau,
Dicegah batu membuih putih,
Julung beriring berbondong-bondong,
Hati terpaut ingin turut berenang-renang ?
Dengan pandainya pengarang “Aoh Kartahadimaja” melukiskan desa dengan sebuah kata dalam puisi. Pada bait keempat ini tampaknya digambarkan sebuah sungai dengan air yang jernih dan terdapat batu yang menghalang derasnya air sehingga menimbulkan buih-buih dan mengajak pikiran kita untuk berenang dan merasakan segar dan dinginnya air di desa tersebut.
Pada bait kelima dan keenam
Pernahkah tuan pergi ke kampung,
Melihat perawan menumbuk padi,
Gelak tertawa disertai suara lesung,
Mengenyah duka iri dalam hati ?
Pernahkah tuan, pernahkah ?
Ah, setahu beta menggubah,
Bila tuan ingin mencari perawan mangsa
Pergilah tuan, pergi ke desa.
Pada bagian ini merupakan inti atau tema dari puisi yang berjudul Ke Desa ini. Bahwa di desa itu masih banyak gadis yang sederhana dan tradisional. Yang sering menumbuk padi dengan lesung, sering berkumpul dan saling bercerita satu sama lain. Pengarang sekaligus melukiskan bahwa kian hari, kehidupam yang seperti di desa tidak akan kita temukan di kehidupan kota. Udara yang sejuk dan segar, suara kicauan burung, senda gurau sesama masyarakat, suara riakan air yang jernih dan buihnya, serta suara lesung tumbukan padi yang diikuti oleh gelak atau canda gadis desa yang tak akan kita jumpai di kota.
Amanat dari puisi ini adalah jagalah selalu alam, desa, tempat tinggal kita. Lestarikan kehidupan di desa yang sederhana. Pengarang menjelaskan bahwa, jika kita masih ingin merasakan kehidupan sederhana, asri, dan segar maka kita dapat menemukannya di desa, maka pergila di desa yang tidak akan kita jumpai di kota.
Pengarang sungguh serius dalam mengambarkan bagaimana suasana desa yang segar itu. Begitu pandainya pengarang, sehingga siapa saja yang membaca dan mendalami puisi ini akan ikut terbawa arus pikiran pengarang.
5.      Puisi “Karawang-Bekasi Karya” Chairil Anwar
Karawang-Bekasi
karya: Chairil Anwar
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bias
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

Chairil Anwar (1948) 

ANALISIS
Pembantaian Rawagede adalah peristiwa pembantaian penduduk Kampung Rawagede (sekarang terletak di Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang), di antara Karawang danBekasi, oleh tentara Belanda pada tanggal 9 Desember 1947 sewaktu melancarkan agresi militer pertama. Sejumlah 431 penduduk menjadi korban pembantaian ini.
Ketika tentara Belanda menyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke arah Karawang. Pertempuran kemudian berkobar di daerah antara Karawang dan Bekasi, mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa dari kalangan sipil. Pada tanggal 4 Oktober 1948, tentara Belanda melancarkan pembersihan. Dalam peristiwa ini 35 orang penduduk Rawagede dibunuh tanpa alasan jelas.
Seperti pada bait pertama puisi tersebut
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Pada 9 Desember 1947, sehari setelah perundingan Renville dimulai, tentara Belanda di bawah pimpinan seorang mayor mengepung Dusun Rawagede dan menggeledah setiap rumah. Namun mereka tidak menemukan sepucuk senjata pun. Mereka kemudian memaksa seluruh penduduk keluar rumah masing-masing dan mengumpulkan di tempat yang lapang. Penduduk laki-laki diperintahkan untuk berdiri berjejer, kemudian mereka ditanya tentang keberadaan para pejuang Republik. Namun tidak satu pun rakyat yang mengatakan tempat persembunyian para pejuang tersebut.
Pada bait selanjutnya
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bias
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Bait tersebut berkaitan dengan pada 4 Oktober 1948, tentara Belanda melancarkan pembersihan lagi di Rawagede, dan kali ini 35 orang penduduk dibunuh. Diperkirakan korban pembantaian lebih dari 431 jiwa, karena banyak yang hanyut dibawa sungai yang banjir karena hujan deras.
Peristiwa tersebut yang kemudian menginspirasi sang maestro membuat puisi Karawang-Bekasi. Dalam puisinya, Chairil Anwar seperti menggambarkan kepada kita bahwa para pahlawan yang dimakamkan sepanjang jarak Karawang-Bekasi sudah tidak dapat berteriak lagi, tetapi mereka merasa yakin bahwa tidak ada yang lupa terhadap deru semangat saat mereka maju ke medan perang walaupun mereka telah tidur panjang. 
Para pejuang Karawang-Bekasi selalu berharap agar keberadaan mereka tetap dikenang sebagai sosok yang tiada pernah berhenti berjuang untuk kemerdekaan bangsa. Semangat kepahlawanan mereka tidak pernah padam. Meskipun mereka telah terbaring dalam pemakaman sepanjang jarak antara Karawang-Bekasi, tetapi mereka tetap memberikan semangat perjuangan yang tidak ada habisnya.
Inilah pengharapan tak berbatas yang sepertinya ingin mereka katakan. Walaupun sebenarnya, mereka telah menjadi tulang belulang yang berserakan antara Karawang-Bekasi.

Untuk mengenang peristiwa tersebut saat ini, di lokasi terjadinya pembantaian penduduk Rawagede, berdiri sebuah monumen peringatan. Monumen ini berada di pinggir jalan sebelah utara, Dusun Rawagede, Desa Rawagede, Kecamatan Rawamerta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar