ANALISIS SAJAK-SAJAK DENGAN PENDEKATAN MIMETIK
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Karya sastra merupakan kesusastraan, karya tulis,
yang jika dibandingkan dengan tulisan lain memiliki berbagai cirri
keunggulan,seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya,
drama, epik, dan lirik. (Kamus Besar Bahasa Indonesia : 786). Ada beberapa
jenis karya sastra diantaranya, sastra bandingan, sastra daerah, sastra dunia,
sastra erotik, sastra hiburan, sastra Indonesia, sastra Indonesia klasik,
sastra tulisan dan sastra lainnya. Karya sastra itu sendiri berisi
mengenai pengalaman yang biasanya dialami oleh pengarang itu sendiri. Ada
banyak pula pendekatan yang dapat digunakan untuk melakukan kritik terhadap
karya sastra,seperti pendekatan mimesis, pragmatis, ekspresif, objektif,
semiotik, sosiologis, psikologis, dan pendekatan moral. Maka dalam makalah ini
akan membahas mengenai pendekatan mimesis dalam puisi-puisi berbagai pengarang.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1.
Bagaimana hasil kajian
kritik karya sastra dengan menggunakan pendekan mimesis atau mimetic.
2.
Apakah makna puisi-puisi dengan menggunakan pendekatan mimetik.
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.
Agar mengetahui cara
dan hasil suatu kritik sastra dengan pendekatan mimesis atau mimetik terhadap
puisi-puisi yang akan dibahas.
2.
Untuk mengetahui makna
puisi –puisi tersebut setelah
dilakukan kritik sastra dengan pendekatan mimesis atau mimetik.
BAB II
KAJIAN TEORI
A.
Puisi
1.
Pengertian Puisi
Puisi adalah bagian dari
karya sastra. Ia terbangun dari unsur makna yang tertuang dalam kata-kata.
Selain itu, puisi merupakan jelmaan rasa penciptanya, ungkapan hati baik itu
sedih, gembira, marah, benci, simpatik, dan lain sebagainya. Jika kita melihat
lebih jauh, dalam masa perkembangannya kini, puisi memiliki banyak ragamnya,
contoh puisi baru, puisi kontemporer, puisi tipografi, hingga puisi-puisi rupa.
Pengertian puisi sendiri
menurut Rahmat Joko Pradopo ialah ekspresi pemikiran yang membangkitkan
perasaan, ia mampu membangkitkan imajinasi panca indera dalam suasana yang
berirama. Dalam pengertian puisi yang diungkapkan Pradopo di atas
berarti puisi menjadi jembatan antara rasa yang dimiliki penulis dengan dunia
luar melalui kata-kata. Lebih sederhana lagi, pengertian puisi menurut Shelly ialah
rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup kita. Sedangkan pengertian puisi menurut Auden ialah bahwa puisi
itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-campur.
2.
Unsur-Unsur Puisi
Unsur-unsur puisi meliputi struktur fisik dan struktur batin puisi
a.
Struktur
fisik puisi
Struktur fisik puisi terdiri dari:
·
Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi
kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai
dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat
menentukan pemaknaan terhadap puisi.
·
Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya.
Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat
mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin.
Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi,
dan urutan kata.
·
Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman
indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi
menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan
imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca
seakan-akan melihat, medengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.
·
Kata konkret, yaitu kata yang
dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini
berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misalnya kata kongkret “salju:
melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll., sedangkan kata kongkret
“rawa-rawa” dapat melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan,
dll.
·
Gaya
bahasa, yaitu penggunaan bahasa yang
dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu. Bahasa
figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna
atau kayaakan makna. Gaya bahasa disebut juga majas. Ada pun macam-macam majas
antara lain metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, parsprototo, totempro
parte, hingga paradoks.
·
Rima/Irama adalah persamaan bunyi pada
puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup:
1)
Onomatope (tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis pada
puisi Sutadji C.B.).
2)
Bentuk intern pola bunyi
(aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak
berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan sebagainya.
3)
Pengulangan kata/ungkapan. Ritma
merupakan tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Rima sangat
menonjol dalam pembacaan puisi.
b.
Struktur
batin puisi
Struktur batin puisi terdiri dari
·
Tema/makna (sense); media puisi
adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi
harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan.
·
Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang
terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar
belakang sosial dan psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan,
agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia,
pengalaman sosiologis dan psikologis, dan pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema
dan ketepatan dalam menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada kemampuan
penyairmemilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi
lebih banyak bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian
yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya.
·
Nada (tone), yaitu sikap
penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa.
Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama
dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada
pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll.
·
Amanat/tujuan/maksud (intention); yaitu pesan yang ingin
disampaikan penyair kepada pembaca.
B.
Kritik Sastra
1.
PENGERTIAN
KRITIK SASTRA
Istilah ”kritik” (sastra) berasal dari bahasa Yunani
yaitu krites yang berarti ”hakim”. Krites sendiri berasal
dari krinein ”menghakimi”; kriterion yang
berarti ”dasar penghakiman” dan kritikos berarti ”hakim
kasustraan”. Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek studi
sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian
terhadap teks sastra sebagai karya seni.
Menurut Graham Hough (1966: 3) bahwa kritik sastra
itu bukan hanya terbatas pada penyuntingan dan penetapan teks, interpretasi ,
dan pertimbangan nilai, melainkan kritik sastra meliputi masalah yang lebih
luas tentang apakah kesusastraan itu, untuk apa, dan bagaimana hubungannya
dengan masalah-masalah kemanusiaan yang lain.
Abrams dalam Pengkajian sastra (2005: 57)
mendeskripsikan bahwa kritik sastra merupakan cabang ilmu yang berurusan dengan
perumusan, klasifikasi, penerangan, dan penilaian karya sastra.
Menurut Rene Wellek dan Austin Warren, Studi sastra
(ilmu sastra) mencakup tiga bidang, yakni: teori sastra, kritik sastra, dan
sejarah sastra. Ketiganya memiliki hubungan yang erat dan saling mengait.
Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek studi sastra (cabang
ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks
sastra.
2.
FUNGSI KRITIK SASTRA
Menurut
Pradopo fungsi utama kritik sastra dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:
1)
Untuk perkembangan ilmu
sastra sendiri. Kritik sastra dapat membantu penyusunan teori sastra dan sejarah
sastra. Hal ini tersirat dalam ungkapan Rene wellek “karya sastra itu tidak
dapat dianalisis, digolong-golongkan, dan dinilai tanpa dukungan
prinsip-prinsip kritik sastra.
2)
Untuk perkembangan
kesusastraan, maksudnya adalah kritik sastra membantu perkembangan kesusastraan
suatu bangsa dengan menjelaskan karya sastra mengenai baik buruknya karya
sastra dan menunjukkan daerah-daerah jangkauan persoalan karya sastra.
3)
Sebagai penerangan
masyarakat pada umumnya yang menginginkan penjelasan tentang karya sastra,
kritik sastra menguraikan (mengsnalisis, menginterpretasi, dan menilai) karya
sastra agar masyarakat umum dapat mengambil manfaat kritik sastra ini bagi
pemahaman dan apresiasinya terhadap karya sastra (Pradopo, 2009: 93).
Berdasarkan
uraian di atas dapat digolongkan kembali fungsi kritik satra menjadi dua:
Fungsi
kritik sastra untuk pembaca:
a)
Membantu memahami karya
sastra.
b)
Menunjukkan keindahan
yang terdapat dalam karya sastra,
c)
Menunjukkan parameter
atau ukuran dalam menilai suatu karya sastra,
d)
Menunjukkan nilai-nilai
yang dapat dipetik dari sebuah karya sastra.
Fungsi kritik sastra untuk pengarang:
a)
Mengetahui kekurangan
atau kelemahan karyanya,
b)
Mengetahui kelebihan
karyanya,
c)
Mengetahui
masalah-msalah yang mungkin dijadikan tema karangannya.
3.
MANFAAT KRITIK SASTRA
Manfaat
dari kritik sastra dapat diuraikan menjadi:
Manfaat
kritik sastra bagi penulis:
a.
Memperluas wawasan
penulis baik yang berkaitan dengan soal bahasa, objek atau tema-tema karangan,
maupun teknik bersastra.
b.
Menumbuhsuburkan
motivasi untuk mengarang.
c.
Meningkatkan kualitas
karangan.
Manfaat
kritik sastra bagi pembaca:
a. Menjembatani
kesenjangan antara pembacakepada karya sastra.
b. Menumbuhkan
kecintaan pembaca kepada karya sastra.
c. Meningkatkan
kemanpuan mengapresiasi karya sastra.
d. Membuka
mata hati dan pikirtan pembaca akan nilai-nilai yang terdapat dalam karya
sastra.
Manfaat
kritik sastra bagi perkembangan sastra:
a. Mendorong
laju perkembangan sastra baik kualitatif maupun kuantitatif.
b. Memperluas
cakrawala atau permasalaha yang ada dalam karya sastra.
C. Jenis-jenis
pendekatan kritik sastra
Berdasarkan pendekatannya terhadap karya sastra.
Menurut Abrahams (1981: 36-37) membagi kritik sastra dalam empat
tipe, yakni kritik mimetik (mimetic criticism), kritik pragmatik
(pragmatic criticism), kritik ekspresif (ekspresive criticism) dan kritik
objektif (objective criticism).
1. Kritik
mimetic
Menurut Abrams, kritikus pada jenis ini memandang
karya sastra sebagai tiruan aspek-aspek alam. Sastra merupakan
pencerminan/penggambaran dunia kehidupan. Sehingga kriteria yang digunakan
kritikus sejauh mana karya sastra mampu menggambarkan objek yang sebenarnya.
Semakin jelas karya sastra menggambarkan realita semakin baguslah karya sastra
itu. Kritik
jenis ini jelas dipengaruhi oleh paham Aristoteles dan Plato yang menyatakan
bahwa sastra adalah tiruan kenyataan.
Di
Indonesia, kritik jenis ini banyak digunakan pada Angk. 45. Contoh lain
misalnya:
Novel
Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik, Jakob Sumardjo.
Novel
Indonesia Populer, Jakob Sumardjo.
2. Kritik pragmatic
Kritikus jenis ini memandang karya sastra terutama
sebagai alat untuk mencapai tujuan (mendapatkan sesuatu yang daharapkan).
Sementara tujuan karya sastra pada umumnya: edukatif, estetis, atau politis.
Dengan kata lain, kritik ini cenderung menilai karya sastra atas
keberhasilannya mencapai tujuan.
Ada yang berpendapat, bahwa kritik jenis ini lebih
bergantung pada pembacanya (reseptif). Kritik jenis ini berkembang pada
Angkatan Balai Pustaka. STA pernah menulis kritik jenis ini yang dibukukan
dengan judul Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan.
3. Kritik
ekspresif
Kritik ekspresif menitikberatkan pada pengarang.
Kritikus ekspresif meyakini bahwa sastrawan (pengarang) karya sastra merupakan
unsur pokok yang melahirkan pikiran-pikiran, persepsi-persepsi dan perasaan
yang dikombinasikan dalam karya sastra. Kritikus cenderung menimba karya sastra
berdasarkan kemulusan, kesejatian, kecocokan pengelihatan mata batin
pengarang/keadaan pikirannya.
Pendekatan ini sering mencari fakta tentang watak
khusus dan pengalaman-pengalaman sastrawan yang sadar/tidak, telah membuka
dirinya dalam karyanya. Umumnya, sastrawan romantik jaman BP/PB
menggunakan orientasi ekspresif ini dalam teori-teori kritikannya. Di
Indonesia, contoh kritik sastra jenis ini antara lain:
Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan, karya Arif Budiman. Di Balik Sejumlah Nama,
Linus Suryadi. Sosok
Pribadi Dalam Sajak, Subagio Sastro Wardoyo. WS
Rendra dan Imajinasinya, Anton J. Lake. Cerita
Pendek Indonesia: Sebuah Pembicaraan, Korrie Layun Rampan.
4.
Kritik objektif
Kritikus jenis ini memandang karya sastra sebagai
sesuatu yang mandiri, bebas terhadap sekitarnya, bebas dari penyair, pembaca,
dan dunia sekitarnya. Karya sastra merupakan sebuah keseluruhan yang mencakupi
dirinya, tersusun dari bagian-bagian yang saling berjalinan erat secara
batiniah dan mengehndaki pertimbangan dan analitis dengan kriteria-kriteria
intrinsik berdasarkan keberadaan (kompleksitas, koherensi, keseimbangan,
integritas, dan saling berhubungan antarunsur-unsur pembentuknya).
Jadi, unsur intrinsik (objektif)) tidak hanya
terbatas pada alur, tema, tokoh, dsb; tetapi juga mencakup kompleksitas,
koherensi, kesinambungan, integritas, dan
sebagainya. Pendekatan kritik sastra jenis ini
menitikberatkan pada karya-karya itu sendiri. Kritik jenis ini mulai
berkembang sejak tahun 20-an dan melahirkan teori-teori: New Critics (Kritikus
Bardi AS), Kritikus
formalis di Eropa, Para
strukturalis Perancis.
BAB III
ANALISIS
SAJAK-SAJAK DENGAN PENDEKATAN MIMETIK
A.
SAJAK-SAJAK
Tragedi TRISAKTI
Oleh Achmad
Rizhal Baehaqi
Pijarhitam langit kelam
Jakarta berwarna malam
Porak poranda tumpah
mewarna
Asing ditanahku,
terperana
Raksasa angkuh
menjelema
Melintang di garis
dilemma
Bangsa besar hilang
bernanah
Lancip tajam serupa
timah
12Mei1998 Empat Jibril
tertidur pulas
Tak bangun tak bernafas
Amarah dan air mata
berdendang
Bak 1000 gamelan
bersuara lantang
Jutaan otot dari yang
terpilih menghadang
Otot tak otak berbisik
menikam
Menghalang laju patriot
terdidik
Mesin pongah membodohi
bangsa
Sadar memang sadar ia
Bego!! Otak dongkol
hanya otot-otor kekar
Ku goyangkan rezimmu
Wahai tuan bertakhta
Tataplah kami, pribumi
bangsa
Darah tak serupa harta,
hilang!
Ku tinggikan bendera
hitam lama karam
Emosi jiwa, hati, dan
pikiran menyatu
Inginkan bebas dari
jurang depresi
Bawalah kami ke surga
yang indah
Di tanah kami, tanah
air mata bercucuran
Lepas mahkotamu, buta
jalan cara mengubah
Indonesia di persimpangan
jalan kehancuran
ANALISIS
Puisi Tragedi Trisakti karya Achmad
Rizhal Baehaqi ini diawali dengan bait pertama (Pijarhitam
langit kelam /Jakarta
berwarna malam /Porak
poranda tumpah mewarna /Asing
ditanahku, terperana). Langsung
tergambar bagaimana kota Jakarta ketika tragedi trisakti, yaitu dalam keadaan
porak poranda seakan langitpun kelam, dan terlihat bukan seperti apa yang
penyair hafal suasana dan daerah Jakarta.
Pada bait selanjutnya juga terlihat
gambaran dan suasan ketika terjadi tragedi trisaksi yaitu (Raksasa
angkuh menjelema /Melintang
di garis dilemma /Bangsa
besar hilang bernanah /Lancip
tajam serupa timah). Daerah ibu kota
yang besar saat itu sudah diambang kedilemaan dan sudah hilang citra bangsa
yang besar.
Kemudian penyair melanjutkannya (12Mei1998
Empat Jibril tertidur pulas/ Tak
bangun tak bernafas/ Amarah
dan air mata berdendang /Bak
1000 gamelan bersuara lantang). Pada
tanggal 12 Mei terjadi demo besar-besaran, empat mahasiswa Trisakti tewas
ditembak di dalam kampus sesaat setelah berdemo di depan gedung DPR/MPR. Karena mendengar terjadi penembakan yang mengakibatkan
tewasnya mahasiswa Trisakti yaitu Elang Mulya, Hafidin Royan, Hendriawan Sie, dan Hery Hartanto, maka masyarakat pun menjadi marah dan sedih mengamuk dengan penuh amarah.
Akhirnya semua masyarakat menyerang,
akan tetapi (Jutaan otot dari yang terpilih
menghadang/ Otot
tak otak berbisik menikam/ Menghalang
laju patriot terdidik/ Mesin
pongah membodohi bangsa/ Sadar
memang sadar ia/ Bego!!
Otak dongkol hanya otot-otor kekar). Mereka
diihadang oleh aparat kepolisian
mengharuskan mereka kembali ke kampus dan sore harinya terjadilah penembakan
terhadap mahasiswa Trisakti.
Dengan adanya penjagaan ketat
tersebut tidak menggoyahkan mahasiswa dan masyarakat (Ku
goyangkan rezimmu/ Wahai
tuan bertakhta/ Tataplah
kami, pribumi bangsa/ Darah
tak serupa harta, hilang!/ Ku
tinggikan bendera hitam lama karam/ Emosi
jiwa, hati, dan pikiran menyatu/ Inginkan
bebas dari jurang depresi) mereka tetap
menentang dan mencoba menyerukan untuk pemberontakan terhadap penetapan
Soeharto sebagai presiden dan dengan emosi yang membawa mereka tetap
memberontak, untuk pembebasan atas hak-haknya.
Akhirnya mencoba memohon (Bawalah
kami ke surga yang indah/ Di
tanah kami, tanah air mata bercucuran/ Lepas
mahkotamu, buta jalan cara mengubah)
memohon kepada Soehato agar melepaskan jabatannya, agar masyarakat mendapatkan
kebebasan dan masyarakat indonesia tanpa ada tekanan lagi.
2.
Puisi "Kesaksian Pilu"Karya : Jose Rizal Manuaf
Tsunami Aceh"Kesaksian Pilu"
Karya : Jose Rizal Manuaf
kusaksikan semua
kusaksikan detik – detik peristiwa
ngeri dan pilu
terdetak didalam dada
rasa desah
menghujam didalam jantung
melihat gelombang dahsyat
bergulung menghantam apa segala
ribuan desa
hancur seketika
puluhan ribuan
mayat terkapar dimana – mana
ada yang hanyut
ada yang terpendam, terbenam
ada yang terhimpit dirumahnya
innalilahi wainnailaihi roji’un
innalilahi wainnailaihi roji’un
tanah rencong yang permai
tiba – tiba terporak poranda
dalam sekejap
dalam hitungan detik
dalam hitungan menit
hancur
lenyap
haru biru menghunjam didalam dada
derita rakyat nangroe aceh darussalam
adalah duka rakyat indonesia
ANALISIS
Pada
bait pertama puisi tersebut (kusaksikan semua/ kusaksikan detik – detik
peristiwa /ngeri dan pilu) kesaksian detik-detik peristiwa bencana aceh pada
2004 yang begitu menyedihkan dan memilukan. Mungkin ini semua dirasakan semua
orang (terdetak didalam dada/ rasa desah/ menghujam didalam jantung) ketika
tsunami orang-orang (melihat gelombang dahsyat/ bergulung menghantam apa
segala/ ribuan desa/ hancur seketika) dan juga (puluhan ribuan/ mayat terkapar
dimana – mana/ ada yang hanyut/ ada yang terpendam, terbenam/ ada yang
terhimpit dirumahnya) sunggu miris dan hanya dapat menyebut (innalilahi
wainnailaihi roji’un/ innalilahi wainnailaihi roji’un).
Dulu
ketika gelombang tsunami belum menghantam (tanah rencong yang permai) begitu
permai dan damai. Akan tetapi betapa sedihnya ketika tsunami itu datang
menghabiskan dan memporak porandakan masyarakat aceh pada tahun 2004 silam.
Kehancuran dimana-mana, barang-barang berharga lenyap tidak ada yang tersisa.
Hanya terlihat air dengan gelombang yang besar, tidak dapat melihat apapun
selain air. Sangat iba (derita rakyat nangroe aceh darussalam/ adalah duka
rakyat indonesia).
3.
Puisi “Lagu Seorang Gerilya” Karya WS. Rendra
LAGU SEORANG GERILYA
WS.
Rendra
Engkau
melayang jauh, kekasihku.
Engkau
mandi cahaya matahari.
Aku
di sini memandangmu,
menyandang
senapan, berbendera pusaka.
Di
antara pohon-pohon pisang di kampung kita yang berdebu,
engkau
berkudung selendang katun di kepalamu.
Engkau
menjadi suatu keindahan,
sementara
dari jauh
resimen
tank penindas terdengar menderu.
Malam
bermandi cahaya matahari,
kehijauan
menyelimuti medan perang yang membara.
Di
dalam hujan tembakan mortir, kekasihku,
engkau
menjadi pelangi yang agung dan syahdu
Peluruku
habis
dan
darah muncrat dari dadaku.
Maka
di saat seperti itu
kamu
menyanyikan lagu-lagu perjuangan
bersama
kakek-kakekku yang telah gugur
di
dalam berjuang membela rakyat jelata
Jakarta,
2 september 1977
ANALISIS
10 November 1977, di Surabaya dipenuhi
tiga ribu jiwa muda. Setelah peristiwa di ITB pada
Oktober 1977, giliran Kampus ITS Baliwerti
beraksi. Dengan semangat pahlawan, berbagai pimpinan mahasiswa se-Jawa hadir
memperingati hari Pahlawan 1977. Seribu mahasiswa berkumpul, kemudian berjalan
kaki dari Baliwerti menuju Tugu Pahlawan.
Sejak pertemuan 28 Oktober di Bandung,
ITS didaulat menjadi pusat konsentrasi gerakan di front timur. Hari pahlawan
dianggap cocok membangkitkan nurani yang hilang. Kemudian disepakati pusat
pertemuan nasional pimpinan mahasiswa di Surabaya.
Sementara di kota-kota lain, peringatan
hari Pahlawan juga semarak. Di Jakarta, 6000 mahasiswa berjalan kaki lima
kilometer dari Rawamangun (kampus IKIP) menuju Salemba (kampus UI),
membentangkan spanduk,"Padamu Pahlawan Kami Mengadu". Juga dengan
pengawalan ketat tentara.
Acara hari itu, berwarna sajak puisi
serta hentak orasi. Suasana haru-biru, mulai membuat gerah. Beberapa batalyon
tempur sudah ditempatkan mengitari kampus-kampus Surabaya. Sepanjang jalan
ditutup, mahasiswa tak boleh merapat pada rakyat. Aksi mereka dibungkam dengan
cerdik.
Konsolidasi berlangsung terus. Tuntutan
agar Soeharto turun masih menggema jelas, menggegerkan semua pihak. Banyak
korban akhirnya jatuh. Termasuk media-media nasional yang ikut mengabarkan,
dibubarkan paksa.
Pimpinan Dewan Mahasiswa (DM) ITS rutin
berkontribusi pada tiap pernyataan sikap secara nasional. Senat mahasiswa
fakultas tak henti mendorong dinamisasi ini. Mereka bergerak satu suara.
Termasuk mendukung Ikrar Mahasiswa 1977. Isinya hanya tiga poin namun berarti.
"Kembali pada Pancasila dan UUD 45, meminta pertanggungjawaban presiden,
dan bersumpah setia bersama rakyat menegakan kebenaran dan keadilan".
Dalam puisi ini menyatakan bahwa
perjuangan mahasiswa untuk membebaskan dari segi bentuk kekangan yang diberikan
oleh pemerintah saat itu. Mereka berfikir bahwa apa makna perjungan para
pahlawan dahulu, kalau saat ini juga masih adanya pertentangan politik. Para
pahlawan dahulu tidak pernah putus asa terhadap para penjajah, meskipun harus
diburu dengan senapan-senapan anak panah, harus dikelilingi peluruh-peluruh
dimana-mana, tetapi para pahlawan tidak patah semangat.
Mahasiswa diibaratkan seperti para
pahlawan dahulu kala, yang dimana pahlawan dulu itu menuntut kemerdekaan.
Tetapi saat ini mahasiswa menuntut keadilan untuk kalangan-kalangan bawah.
4.
Puisi “Ke Desa..” karya Aoh
Kartahadimaja
KE DESA ..............
’Rang
kota!
Pernahkah
tuan pergi ke desa,
Menghirup
bumi,
Baru
dicangkul menyegar rasa ?
Pernahkah
tuan duduk di tangah ladang,
Dengan
peladang bersenda gurau,
Menunggu
jagung dalam unggun,
Sebelum
pacul kelak mengayun ?
Pernahkah
tuan tegak di tepi sawah,
Padi
beriak menyibak sukma,
Pipit
bercicit,
Riang
haram bersusah ?
Pernahkah
tuan lihat air berdesau,
Dicegah
batu membuih putih,
Julung
beriring berbondong-bondong,
Hati
terpaut ingin turut berenang-renang ?
Pernahkah
tuan pergi ke kampung,
Melihat
perawan menumbuk padi,
Gelak
tertawa disertai suara lesung,
Mengenyah
duka iri dalam hati ?
Pernahkah
tuan, pernahkah ?
Ah,
setahu beta menggubah,
Bila
tuan ingin mencari perawan mangsa
Pergilah
tuan, pergi ke desa.
(Aoh
Kartahadimaja)
ANALISIS
Puisi tersebut mengisahkan tentang pertanyaan
seseorang desa kepada seseorang dari kota. Dalam puisi yang berjudul Ke Desa...
karya Aoh Kartahadimaja ini sungguh menggambarkan suasana di sebuah desa.
Pengarang melukiskan suasana desa yang asri. Sesuai dengan pendekatan mimesis
atau mimetik yang beranggapan bahwa puisi merupakan tiruan alam atau penggambaran
dunia dan kehidupan manusia di semesta raya ini. Misalnya saja pada bait
pertama
’Rang kota!
Pernahkah tuan pergi ke desa,
Menghirup bumi,
Baru dicangkul menyegar rasa ?
Pengarang karya membuka bagian awal atau bait
pertama dengan menggambarkan bahwa di desa itu udaranya masih segar yang dapat
menyegarkan kita. Pembaca dibawa masuk ke dalam artian puisi, sehingga
seolah-olah pembaca mengalaminya.
Lalu
pada bait kedua
Pernahkah
tuan duduk di tangah ladang,
Dengan
peladang bersenda gurau,
Menunggu
jagung dalam unggun,
Sebelum
pacul kelak mengayun ?
Pengarang kembali menceritakan bagaimana cara-cara
peladang yang bersenda gurau ketika sedang bertemu dan berkumpul di ladang
sambil menunggu panen jagung. Hal ini sesuai dengan landasan teori bahwa puisi
itu hanyalah tiruan dari kehidupan manusia.
Lalu
pada bait ketiga
Pernahkah
tuan tegak di tepi sawah,
Padi
beriak menyibak sukma,
Pipit
bercicit,
Riang
haram bersusah
Pengarang kembali semakin dalam menjelaskan
bagaimana latar di sebuah desa yang masih hijau, segarm dan masih terdapat
persawahan atau ladang dengan burung-burung pipit yang bertamu sambil
mengeluarkan suara cicit merdunya yang mencari makan di ladang.
Pada
bait keempat
Pernahkah
tuan lihat air berdesau,
Dicegah
batu membuih putih,
Julung
beriring berbondong-bondong,
Hati
terpaut ingin turut berenang-renang ?
Dengan pandainya pengarang “Aoh Kartahadimaja”
melukiskan desa dengan sebuah kata dalam puisi. Pada bait keempat ini tampaknya
digambarkan sebuah sungai dengan air yang jernih dan terdapat batu yang
menghalang derasnya air sehingga menimbulkan buih-buih dan mengajak pikiran
kita untuk berenang dan merasakan segar dan dinginnya air di desa tersebut.
Pada
bait kelima dan keenam
Pernahkah
tuan pergi ke kampung,
Melihat
perawan menumbuk padi,
Gelak
tertawa disertai suara lesung,
Mengenyah
duka iri dalam hati ?
Pernahkah
tuan, pernahkah ?
Ah,
setahu beta menggubah,
Bila
tuan ingin mencari perawan mangsa
Pergilah
tuan, pergi ke desa.
Pada bagian ini merupakan inti atau tema dari puisi
yang berjudul Ke Desa ini. Bahwa di desa itu masih banyak gadis yang sederhana
dan tradisional. Yang sering menumbuk padi dengan lesung, sering berkumpul dan
saling bercerita satu sama lain. Pengarang sekaligus melukiskan bahwa kian
hari, kehidupam yang seperti di desa tidak akan kita temukan di kehidupan kota.
Udara yang sejuk dan segar, suara kicauan burung, senda gurau sesama
masyarakat, suara riakan air yang jernih dan buihnya, serta suara lesung
tumbukan padi yang diikuti oleh gelak atau canda gadis desa yang tak akan kita
jumpai di kota.
Amanat dari puisi ini adalah jagalah selalu alam,
desa, tempat tinggal kita. Lestarikan kehidupan di desa yang sederhana.
Pengarang menjelaskan bahwa, jika kita masih ingin merasakan kehidupan
sederhana, asri, dan segar maka kita dapat menemukannya di desa, maka pergila
di desa yang tidak akan kita jumpai di kota.
Pengarang sungguh serius dalam mengambarkan
bagaimana suasana desa yang segar itu. Begitu pandainya pengarang, sehingga
siapa saja yang membaca dan mendalami puisi ini akan ikut terbawa arus pikiran
pengarang.
5.
Puisi “Karawang-Bekasi Karya” Chairil Anwar
Karawang-Bekasi
karya:
Chairil Anwar
Kami
yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak
bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi
siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang
kami maju dan mendegap hati ?
Kami
bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika
dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami
mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang,
kenanglah kami.
Kami
sudah coba apa yang kami bias
Tapi
kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami
cuma tulang-tulang berserakan
Tapi
adalah kepunyaanmu
Kaulah
lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau
jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau
tidak untuk apa-apa,
Kami
tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah
sekarang yang berkata
Kami
bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika
ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang,
kenanglah kami
Teruskan,
teruskan jiwa kami
Menjaga
Bung Karno
menjaga
Bung Hatta
menjaga
Bung Sjahrir
Kami
sekarang mayat
Berikan
kami arti
Berjagalah
terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang,
kenanglah kami
yang
tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu
kami terbaring antara Krawang-Bekasi
Chairil
Anwar (1948)
ANALISIS
Pembantaian Rawagede adalah peristiwa
pembantaian penduduk Kampung Rawagede (sekarang terletak di Desa Balongsari, Rawamerta,
Karawang), di antara Karawang danBekasi,
oleh tentara Belanda pada tanggal 9
Desember 1947 sewaktu
melancarkan agresi militer pertama.
Sejumlah 431 penduduk menjadi korban pembantaian ini.
Ketika tentara Belanda menyerbu Bekasi, ribuan
rakyat mengungsi ke arah Karawang. Pertempuran kemudian berkobar di daerah
antara Karawang dan Bekasi, mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa dari
kalangan sipil. Pada tanggal 4
Oktober 1948,
tentara Belanda melancarkan pembersihan. Dalam peristiwa ini 35 orang penduduk
Rawagede dibunuh tanpa alasan jelas.
Seperti
pada bait pertama puisi tersebut
Kami
yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak
bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi
siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang
kami maju dan mendegap hati ?
Pada 9
Desember 1947, sehari setelah
perundingan Renville dimulai, tentara Belanda di bawah pimpinan seorang mayor
mengepung Dusun Rawagede dan menggeledah setiap rumah. Namun mereka tidak menemukan
sepucuk senjata pun. Mereka kemudian memaksa seluruh penduduk keluar rumah
masing-masing dan mengumpulkan di tempat yang lapang. Penduduk laki-laki
diperintahkan untuk berdiri berjejer, kemudian mereka ditanya tentang
keberadaan para pejuang Republik. Namun tidak satu pun rakyat yang mengatakan
tempat persembunyian para pejuang tersebut.
Pada
bait selanjutnya
Kami
bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika
dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami
mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang,
kenanglah kami.
Kami
sudah coba apa yang kami bias
Tapi
kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Bait tersebut berkaitan dengan pada 4 Oktober 1948,
tentara Belanda melancarkan pembersihan lagi di Rawagede, dan kali ini 35 orang
penduduk dibunuh. Diperkirakan korban pembantaian lebih dari 431 jiwa, karena
banyak yang hanyut dibawa sungai yang banjir karena hujan deras.
Peristiwa tersebut yang kemudian menginspirasi sang
maestro membuat puisi Karawang-Bekasi. Dalam puisinya, Chairil Anwar seperti
menggambarkan kepada kita bahwa para pahlawan yang dimakamkan sepanjang jarak
Karawang-Bekasi sudah tidak dapat berteriak lagi, tetapi mereka merasa yakin
bahwa tidak ada yang lupa terhadap deru semangat saat mereka maju ke medan
perang walaupun mereka telah tidur panjang.
Para pejuang Karawang-Bekasi selalu berharap agar
keberadaan mereka tetap dikenang sebagai sosok yang tiada pernah berhenti
berjuang untuk kemerdekaan bangsa. Semangat kepahlawanan mereka tidak pernah
padam. Meskipun mereka telah terbaring dalam pemakaman sepanjang jarak antara
Karawang-Bekasi, tetapi mereka tetap memberikan semangat perjuangan yang tidak
ada habisnya.
Inilah pengharapan tak berbatas yang sepertinya
ingin mereka katakan. Walaupun sebenarnya, mereka telah menjadi tulang belulang
yang berserakan antara Karawang-Bekasi.
Untuk mengenang peristiwa tersebut saat
ini, di lokasi terjadinya pembantaian penduduk Rawagede, berdiri sebuah monumen
peringatan. Monumen ini berada di pinggir jalan sebelah utara, Dusun Rawagede,
Desa Rawagede, Kecamatan Rawamerta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar